Selasa, 01 Mei 2012

Msalah PERKAWINAN


PERJANJIAN PERKAWINAN
(UU Perkawinan, pasal 29)


1. PENTINGNYA PERJANJIAN PERKAWINAN

Tidak banyak orang tahu bahwa pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami atau isteri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Padahal perjanjian perkawinan sangat penting untuk melindungi dan memperjelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, baik selama perkawinan berlangsung maupun akibat-akibat hukum setelah perkawinan putus karena perceraian atau kematian. Dengan adanya perjanjian perkawinan akan menjamin hak dan kewajiban Anda.


2. KAPAN PERJANJIAN PERKAWINAN DIBUAT?

Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama. Isinya bisa berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang kepentingan pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian ini berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.


3. KEPADA SIAPA PERJANJIAN DISAHKAN?

Perjanjian perkawinan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya yang diakui oleh negara.


4. ISI PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).

Begitu juga yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian dengan pihak Bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama.
 j

5. BISAKAH PERJANJIAN PERKAWINAN DI UBAH ?

Perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, dan selama perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Jadi jelas, perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika ada kesepakatan kedua belah pihak. Bila keinginan untuk merubah itu datang hanya dari satu pihak, dan satu pihak lainnya tidak setuju, maka perubahan tidak sah yang berarti perjanjian yang telah disepakati, belum/tidak mengalami perubahan.
  

6. PERJANJIAN TAKLIK TALAK

Perjanjian taklik talak adalah perjanjian yang diikrarkan suami (penganut agama Islam) pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Taklik Talak ini terdapat dalam kutipan Akta Nikah dan dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Taklik Talak berisi ketentuan bahwa jika sewaktu-waktu suami Anda:
(1) meninggalkan Anda dua tahun berturut-turut
(2) tidak memberi nafkah wajib kepada Anda tiga bulan lamanya
(3) menyakiti badan/jasmani Anda
(4) membiarkan (tidak mempedulikan) Anda enam bulan lamanya

maka jika Anda, sebagai isteri tidak ridla (ikhlas) dan mengadukannya ke Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, kemudian Anda juga membayar uang sebesar Rp.50,- sebagai iwadl (pengganti) kepada suami, maka jatuhlah talak satu suami kepada Anda.


7. SAMAKAH PERJANJIAN PERKAWINAN DENGAN TAKLIK TALAK ?

Pada dasarnya, perjanjian kawin sama dengan taklik talak. Bedanya, perjanjian kawin bisa dirubah sesuai dengan kehendak kedua belah pihak, sedangkan perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Perbedaan lainnya adalah, isi perjanjian kawin dapat meliputi hal apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dan tidak merupakan syarat putusnya talak/cerai. Sementara perjanjian taklik talak, selain hanya berisi hal-hal tertentu, juga merupakan syarat jatuhnya talak jika perjanjian tersebut sudah diucapkan tetapi kemudian tidak dilaksanakan.


8. DAPATKAH PERJANJIAN PERKAWINAN DITUANGKAN DALAM TAKLIK TALAK ?

Taklik talak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan secara baku dalam akta nikah. Sementara perjanjian perkawinan dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak (calon suami dan isteri). Oleh sebab itu, jika apa yang ada dalam taklik talak dirasa kurang, maka Anda dapat mencantumkannya secara tersendiri dalam perjanjian yang lain, yaitu perjanjian perkawinan.


9. BILAMANA PERJANJIAN DILANGGAR

Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan, bahwa jika perjanjian perkawinan atau Taklik Talak dilanggar, maka Anda berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.






TA’LIK TALAK DAN PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Perbandingan)
By syekhu
I. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 38 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan karena ada tiga faktor yaitu, karena kematian, karena perceraian dan karena putusan pengadilan.
Di Indonesia pada umumnya perkawinan putus lewat perceraian dengan memakai lembaga Ta’lik Talak, walaupun tidak sedikit yang putus karena putusan pengadilan, seperti gugat cerai dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak.
Di Indonesia, Ta’lik Talak sudah ada sejak dahulu, hal ini dibuktikan bahwa hampir seluruh perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan shigat Ta’lik oleh suami. Walaupun shigat-nya harus dengan suka rela, namun di negara kita menjadi seolah-olah sudah kewajiban yang harus dilakukan oleh suami. Shigat Ta’lik dirumuskan sedemikian rupa dengan maksud agar sang isteri memperoleh perlakuan yang tidak sewenang-wenang oleh suaminya, sehingga akibatnya jika isteri diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya dan dengan keadaan itu, isteri tidak ridha, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak tadi.
Bila kembali dilihat dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya, maka tidak ada disebutkan alasan perceraian dengan mendasarkan pada Ta’lik Talak.[1]
Sebagai bahan pemikiran dalam kajian ini, berikut dikemukakan beberapa pendapat fuqaha mengenai perjanjian Ta’lik Talak.
Menurut Sulaiman Rasyid[2], dalam bukunya “Fiqh Islam” menyebutkan adanya perjanjian Ta’lik Talak yang berlaku di negara kita. Menurut beliau, dalam praktek penyelesaian perkara Ta’lik Talak sekarang ini banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, akibatnya sering menimbulkan mudharat yang besar baik dari pihak suami maupun isteri.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa bila Ta’lik Talak itu dimaksudkan untuk perlindungan isteri dari perbuatan sewenang-wenang oleh suaminya, maka masih ada cara lain dalam Islam yang dapat dipergunakan, karena itu beliau sangat berharap agar perceraian dengan alasan Ta’lik Talak itu ditiadakan.
Sementara itu, Dr. Mahmud Syaltout dalam bukunya Perbandingan Mazhab, menjelaskan bahwa perceraian lewat perjanjian Ta’lik Talak adalah jalan terbaik dalam melindungi wanita atas perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian Ta’lik Talak ketika akad nikah akan dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian Ta’lik Talak dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik atau perjanjian, sehingga terjadinya pelanggaran bagi pihak suami, maka isteri dapat meminta cerai kepada pengadilan.[3]
Mengingat luasnya cakupan dari pada judul ini, maka dibatasi pembahasannya pada beberapa masalah hukum acara dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan Agama terutama gugatan cerai dengan alasan Ta’lik Talak. Karena kajiannya bersifat analisis perbandingan, maka pembahasan akan diuraikan berama-sama.


II. Eksistensi Ta’lik Talak
Pembahasan tentang Ta’lik Talak sebagai alasan perceraian, nampaknya telah dibicarakan oleh para fuqaha dalam berbagai kitab fiqh, dan ternyata mereka berbeda pendapat tentang hal itu. Perbedaan tersebut hingga sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam. Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat, yakni ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Mereka yang membolehkan secara mutlak yakni bahwa mereka memperbolehkan semua bentuk shigat Ta’lik, baik yang berbentuk syarthi maupun qasamy. Sedangkan yang hanya membolehkan ialah shigat Ta’lik yang bersifat syarthi yang sesuai dengan maksud dan tujuan hukum syara’.[4]
Secara yuridis mengenai alasan perceraian, sebagaimana dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, keduanya tidak menyinggung mengenai Ta’lik Talak sebagai alasan perceraian, hal ini dimaksudkan kedua pasal itu sudah cukup memadai. Sesuai dengan jiwa Undang-Undang itu, yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya perceraian sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas.
Dalam hubungan ini, M. Yahya Harahap, SH., menyatakan bahwa UU Perkawinan tidak menutup perceraian dan pada saat yang bersamaan juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. oleh karena itu, apa yang telah diatur dalam aturan-aturan perundangan dianggap cukup memadai untuk mensejajari kebutuhan masyarakat. apalagi jika dilihat dari keluwesan pasal 19 PP. No. 9 Tahun 1975 yang dikaitkan dengan perluasan alasan melalaikan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan. Alasan perceraian yang kita miliki lebih dari cukup dan tidak perlu lagi ditambah.[5]
Bila dilihat dari segi peraturan perundangan, maka jelas bahwa dalam alasan perceraian yang berlaku di Indonesia tidak disebut-sebut Ta’lik Talak, demikian halnya jika Ta’lik Talak dikategorikan sebagai perjanjian perkawinan karena ditetapkan ditetapkan secara serta merta pada saat berlangsungnya perkawinan, maka secara tegas UU Perkawinan dalam penjelasan pasal 29 dinyatakan bahwa dalam hal ini tidak termasuk Ta’lik Talak[6] yang memberi pengertian bahwa UUP tidak mengenal lembaga Ta’lik Talak.
Dari kondisi obyektif perundangan tersebut di atas, jika diuraikan dengan fakta yang ada bahwa nampaknya tidak sedikit perkara cerai gugat dengan alasan Ta’lik Talak yang masuk di Pengadilan Agama setiap tahunnya, maka apakah yang demikian dapat dikatakan bahwa Pengadilan Agama telah membenarkan alasan perceraian di luar Undang-Undang? Untuk menjawab hal ini, berikut perlu dikemukakan beberapa hal,[7] yaitu:
  1. Ta’lik Talak dilihat dari esensinya sebagai perjanjian yang menggantungkan kepada syarat dengan tujuan utama melindungi isteri dari kemudharatan atas kesewenangan suami.
  2. Ta’lik Talak sebagai alasan perceraian telah melembaga dalam hukum Islam sejak lama, sejak zaman sahabat. Sebahagian besar ulama sepakat tentang sahnya.
  3. Substansi shigat Ta’lik Talak yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dipandang telah cukup memadai dipandang dari asas hukum Islam ataupun jiwa UUP.
  4. Di Indonesia, lembaga Ta’lik Talak secara yuridis formal telah berlaku sejak zaman Belanda, berdasarkan Staatblad 1882 No. 152 sampai setelah merdeka. Dan pada saat sekarang, dengan diberlakukannya KHI melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 yang antara lain mengatur tentang Ta’lik Talak, maka Ta’lik Talak dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
Dari keempat hal tersebut, kiranya dapat memberi landasan hukum Ta’lik Talak tetap berlaku di lingkungan Pengadilan Agama, di mana Ta’lik Talak secara substansial dalam KHI dapat dilihat dari dua segi, yakni sebagai perjanjian perkawinan dan sebagai alasan perceraian.
Dan dari dua segi itu, bila dilihat dari sistematika penyusunan KHI, nampaknya KHI lebih menitikberatkan pada esensinya sebagai perjanjian perkawinan. Hal ini nampak pada pemuatannya pada pasal 45 dan 46 diatur lebih rinci dari pada pemuatannya dalam Bab XVI tentang putusnya perkawinan pasal 116.
III. Tentang Rumusan Ta’lik Talak
Sebagaimana telah disinggung terdahulu, bahwa para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai Ta’lik Talak. Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara merekapun muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat Ta’lik Talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk Ta’lik Talak (Qasamy dan Syarthi), keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan Ta’lik Talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah.[8] Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Ta’lik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya Talak.
Sementara itu, jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah menta’likkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka Ta’lik itu dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan Talak itu tidak menjatuhkan Talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi Talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan Ta’lik itu.[9]
Pendapat jumhur inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk sighat Ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak Talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami.
Bila dicermati rumusan Ta’lik Talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya,[10] tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat Ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat Ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940) maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat Ta’lik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat Ta’lik dari segi perlindungan pada isteri.
Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat Ta’lik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat Ta’lik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.[11]
Oleh karena itu sighat Ta’lik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk Ta’lik Talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
IV. Beberapa Permasalahan di Sekitar Ta’lik Talak
A. Kekuatan Berlakunya Ta’lik Talak
Ta’lik Talak dalam berbagai kitab fiqh dibahas demikian mendetail, termasuk tentang kekuatan berlakunya Ta’lik Talak yang telah diucapkan suami. Salah satu hal yang mempengaruhi kekuatan berlakunya Ta’lik Talak adalah lafaz yang digunakan dalam sighat Ta’lik.
Menurut kitab Qawanin al-Syar’iyah, jika Ta’lik Talak itu menggunakan kata ان (jika) atau اذا  (apabila) atau  متي(manakala) dan semacamnya, maka sighat Ta’lik itu berlaku sekaligus, artinya jika telah terjadi perceraian, baik karena Talak Raj’i maupun lainnya, maka kekuatan Ta’lik Talak yang diucapkan suami gugur adanya.[12]
Lain halnya jika menggunakan kata كلما (sewaktu-waktu), dan ini yang dipakai dalam Permenag. No. 2 Tahun 1990, artinya jika sebelum terwujud syarat Ta’lik kemudian suami menjatuhkan Talak Raj’i dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka Ta’lik Talak yang diucapkan suami tetap mempunyai kekuatan hukum, sehingga sewaktu-waktu terwujud syarat Ta’lik, maka isteri dapat menggunakan sebagai alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak.[13]
Namun bila terjadi Talak Ba’in atau kawin lagi, setelah lepasnya Talak Raj’i, Ta’lik Talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, sehingga jika suami isteri itu menghendaki berlakunya perjanjian Ta’lik Talak, maka harus diulang.[14]

B. Bila Suami atau Isteri Tidak Mengetahui Isi Sighat Ta’lik Talak
Jika suami tidak mengetahui isi atau maksud sighat Ta’lik Talak yang diucapkannya, maka hal itu harus dianggap tidak ada. Itulah sebabnya sehingga dalam surat nikah pada masa sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, selalu ada catatan-catatan untuk mereka yang kurang paham dengan bahasa Indonesia, oleh PPN harus menjelaskannya dalam bahasa daerah yang dipahami oleh para pihak sampai mereka paham, dan disuruhnya mengucapkan Ta’lik itu dalam bahasa daerah yang dipahami. Namun pada tahun 1950 tidak ada lagi catatan demikian, sehingga ada kemungkinan jika PPN  tidak menjelaskan isi sighat Ta’lik, suami atau isteri tidak dapat mengetahuinya. Jika terjadi kondisi demikian, maka perjanjian itu dianggap tidak ada dan batal demi hukum. Hal ini merujuk kepada Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa yang dianggap ada dalam  perjanjian adalah maksud pengertiannya, bukan berdasarkan ucapan dan bentuk kata-katanya.[15]
C. Mengucapkan Sighat Ta’lik Talak Karena Terpaksa
Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan Ta’lik Talak harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak, karena perbuatan itu merupakan perbuatan hukum yang akan berakibat hukum pula.
Jika suami mengucapkan Ta’lik Talak karena dipaksa atau ada pemaksaan, maka Talak suami tidak jatuh, karena hal demikian berarti bukan kehendak bebas yang berarti pula bahwa taklif (pembebanan) harus dianggap tidak ada pula.
Dalam keadaan seperti itu, maka para ulama sepakat bahwa jika suami berakal, baligh dan berkehendak bebas, maka Talaknya dipandang sah dan sebaliknya jika terjadi hal itu dipandang sebagai perbuatan sia-sia.[16] Dalam hubungan ini Nabi bersabda: “Umatku dibebaskan karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa”.[17]
Dalam praktek, jika terjadi hal demikian (Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan), maka hakim harus menolak gugatan isteri, karena tidak memenuhi syarat Ta’lik, atau tidak terjadi pelanggaran sighat Ta’lik. Pendapat inilah yang populer hingga sekarang.
Satu-satunya pendapat yang menganggap sah atas Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan adalah Imam Abu Hanifah, walaupun pendapat ini menyalahi pendapat jumhur.[18]
D. Tidak Menandatangani Sighat Ta’lik
Secara yuridis dalam Permenag. No. 2 Tahun 1990 dkatakan bahwa untuk sahnya perjanjian Ta’lik Talak, maka suami harus menandatangani sighat Ta’lik yang diucapkannya sesudah akad nikah. Dari pernyataan ini dipahami bahwa antara pengucapan dan penandatanganan perjanjian Ta’lik Talak, keduanya bersifat kumulatif.
Dari keadaan demikian, bila dikaitkan dengan keadaan riil di lapangan masih sering terjadi, bahwa suami tidak menandatangani kutipan akta nikah, sekalipun dalam akta nikah dijelaskan bahwa suami mengucapkan Ta’lik Talak, kenyataan ini menunjukkan bahwa salah satu dari kedua syarat sahnya perjanjian Ta’lik Talak tidak terpenuhi, sehingga akibatnya perjanjian Ta’lik Talak tadi harus dianggap tidak sah atau batal.
Di pandang dari sudut kekuatan pembuktian, bahwa dalam kutipan akta nikah itu jelas bahwa suami mengucapkan sighat Ta’lik, maka hakim harus terikat terhadap apa yang tertera dalam kutipan akta nikah itu, karena pada dasarnya itu yang merupakan kekuatan pembuktian yang sempurna.[19]
Akan tetapi jika dilihat dari substansinya, maka Ta’lik Talak merupakan perjanjian suami isteri yang bersifat sukarela, yang ada atau tidak hanya ditentukan oleh para pihak (suami isteri) dengan tujuan memberikan keadilan bagi masing-masing pihak. Karena itu dalam kasus demikian, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk menilai bahwa penandatanganan tadi tak ubahnya sebagai suatu tindakan yang sifatnya lebih menunjukkan pada tindakan administratif.
Dari kondisi seperti itu, maka jalan keluar yang dapat dipakai adalah jika suami hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menunjukkan langsung padanya, dan jika suami mengaku, maka ia dipandang sah dan bila menyangkal, maka hakim harus memeriksa ada tidaknya perjanjian Ta’lik Talak sesuai dengan hukum yang berlaku. Sementara itu bila suami tidak hadir, maka isteri harus membuktikan bahwa suami mengucapkan sighat Ta’lik Talak. Dalam hal ini hakim tidak cukup memakai bukti keterangan kutipan akta nikah, tetapi harus dikuatkan oleh bukti lain seperti keterangan dari PPN di mana pernikahan itu dilangsungkan atau dengan keterangan saksi-saksi.
V. Penutup
A. Tanggapan Penulis Tentang Sighat Ta’lik
Walaupun dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya tentang sighat Ta’lik Talak, telah mendapatkan rumusan yang baku dari Departemen Agama sebagaimana adanya sekarang ini, namun nampaknya rumusan itu tidaklah bersifat final untuk selamanya. Hal ini dibuktikan bahwa Ta’lik Talak itu sendiri dalam pembahasan para fuqaha, terjadi ikhtilaf, ada yang membolehkan, ada pula yang tidak. Yang tidak membolehkan beralasan bahwa kalau hanya dengan alasan perlindungan isteri dari kesewenangan suami, masih ada jalan lain yang dibenarkan oleh syari’at Islam.
Sekarang ini ada pemikiran sementara pakar, bahwa bolehlah kita sepakati di Indonesia ada Ta’lik Talak, namun rumusan itu hendaknya tidak bersifat paten dengan alasan,begitu mudahkah seorang perempuan memperoleh status mantan isteri dari seseorang (janda) hanya karena persoalan pelanggaran Ta’lik tadi.
Kedua permasalahan yang berhubungan dengan sighat Ta’lik dan Ta’lik Talak itu sendiri nampaknya memang masih perlu dikaji lebih jauh. Sebab bila dibaca berbagai pembahasan tentang hal ini dalam berbagai kitab fiqh, nampaknya tidak selamanya ke sepuluh asas dalam sighat Ta’lik yang ada itulah yang harus ada, akan tetapi mungkin dalam bentuk perjanjian yang lain yang lebih mengikat ketenteraman dalam rumah tangga.
Bahkan lebih jauh lagi, terdapat pemikiran bahwa, mengingat pelaksanaa Ta’lik Talak selama ini, tampaknya lebih mengarah kepada hal yang bersifat serimonial belaka, karena pelaksanaannya ditanyakan kepada calon mempelai wanita sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan. Di lain pihak, asas-asas yang terdapat dalam Ta’lik Talak sudah diramu sedemikian rupa, sehingga kecenderungannya seolah-olah kasus semua rumah tangga di seluruh Indonesia persis apa yang ada dalam Ta’lik Talak itu. Sementara kekuatan hukumnya tidak terlalu kuat, karena tidak ada data pendukung kecuali pencatatan yang dilakukan oleh PPN belaka.
Berdasarkan dari pemikiran sepertri itu perlu dipikirkan ke depan tentang kemungkinannya diintegrasikan antara Ta’lik Talak dengan perjanjian perkawinan, dengan pertimbangan bahwa jika Ta’lik Talak disatukan dalam perjanjian perkawinan, maka pemeriksaannya dilakukan jauhjauh sebelum akad nikah dilangsungkan, sehingga kedua belah pihak terbebas dari unsur ketrpaksaan dan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan secara matang tentang isi perjanjian yang dilakukan keduanya. Di sisi lain, kekuatan hukumnya lebih kuat, karena jika dalam bentuk perjanjian maka harus ada pihak lain yang terlibat seperti saksi-saksi dan kalau perlu perjanjian itu dikeluarkan oleh Notaris, walau harus menambah sedikit biaya.
Adapaun asas-asas yang terdapat dalam Ta’lik Talak yang ada sekarang ini, bisa dimasukkan dalam kelompok pembahasan tentang pashah, sehingga tidak terdapat lagi unsur yang mengenyampingkan atau menghilangkan asas urgennya Ta’lik Talak itu sendiri, wallahu a’lam.
B. Kesimpulan
Dari uraian yang lalu, berikut dapat dirumuskan kesimpulan-kesimpulan yang sederhana:
  1. Mengenai Ta’lik Talak, terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha, di antaranya ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
  2. Di Indonesia nampaknya, Ta’lik Talak telah ada sejak zaman Belanda, dan telah mengalami banyak perubahan bahkan pada masa kemerdekaan sampai sekarang, rumusannya pun telah ditetapkan oleh Departemen Agama dengan maksud untuk melindungi isteri dari perlakuan sewenang-wenang dari suami.
  3. Dalam tata cara penyelesaian administrasi perkawinan Indonesia, pembuktian tentang Ta’lik Talak menjadi bahagian yang amat penting demi memenuhi tuntutan perundang-undangan yang berlaku bagi warga negara, terutama yang beragama Islam, hal ini penting karena merupakan salah satu pembuktian di pengadilan, jika terjadi kasus cerai gugat. Wallahu A’lam Bi al-Shawab.
-o 0 o-





DAFTAR PUSTAKA
Hamka. “Tafsir Al-Azhar”, Panji Masyarakat. Jakarta: t.p., 1981.
Manan, Abdul. “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia “ dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI. Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 68.
________. Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Cet. I; Jakarta: Al-Hikmah, 2000.
Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: Liberty, 1976.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Al-Suyuthiy. Jami’ al-Saghir, Juz I. t.tp: t.p., t.th.
Syalthout, Mahmoud. Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Uthman, Sayyid. Qawanin al-Syar’iyah. Surabaya: Salin Nabhan, t. th.
[1]Lihat Abdul Manan, “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia “ dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 68.
[2]Lihat ibid., h. 69.
[3] Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet. I; Jakarta: Al-Hikmah, 2000), h. 245-246.
[4]Lihat Mahmoud Syalthout, Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 218-233.
[5]Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 71-72.
[6]Lihat Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar”, Panji Masyarakat (Jakarta: t.p., 1981), h. 71.
[7]Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 72-73.
[8]Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 123.
[9]Lihat Mahmoud Syalthout, op. cit., h. 237.
[10]Unsur pokok Ta’lik Talak: 1. Suami meninggalkan isteri, 2. Suami tidak memberi nafkah, 3. Suami menyakiti isteri, 4. Suami membiarkan isteri, 5. Isteri tidak ridha, 6. Isteri mengadu, 7. Pengaduan diterima, 8. Isteri membayar iwadh, 9. Jatuh Talak suami satu, 10. Uang iwadh dikuasakan kepada Pengadilan.
[11]Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 76.
[12]Lihat Sayyid Uthman, Qawanin al-Syar’iyah (Surabaya: Salin Nabhan, t. th.), h. 80.
[13]Lihat ibid.
[14]Lihat ibid.
[15]Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 87.
[16]Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
[17]Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthniy, Hakim dan Thabrani yang di-hasan-kan oleh Imam Nawawi. Selengkapnya lihat Al-Sunnah-Suyuthiy, Jami’ al-Saghir, Juz I (t.tp: t.p., t.th.), h. 600.
[18]Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
[19]Lihat Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Jakarta: Liberty, 1976), 105-116.



























Bila suami anda melakukan Poligami

Suatu saat, tanpa diduga suami Anda menyatakan bahwa dia akan menikahi perempuan lain. Atau bisa juga suami Anda telah menikah secara diam-diam dengan perempuan lain. Artinya, ada istri lain selain Anda dalam kehidupan suami Anda. Banyak perempuan tidak siap menghadapi hal ini. "Siapa sih yang mau dimadu?", demikian pameo yang seringkali terdengar menanggapi poligami ini. Beberapa istri memang kemudian lebih memilih bercerai ketimbang dimadu. Tetapi bagaimana dengan istri yang ‘tidak mampu’ bercerai (misalnya karena ketergantungan ekonomi pada suaminya). Bagaimana cara yang tepat bila Anda mengalami hal itu

1. PEMBENARAN POLIGAMI
Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami. Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan: Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang.
Tetapi bila kita lihat ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1), —yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami—, maka terlihat ada ketidakkonsistenan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.

2. POLIGAMI SEBAGAI BENTUK PENGUNGGULAN LAKI-LAKI TERHADAP PEREMPUAN
Poligami pada hakekatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami. Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak dapat melahirkan keturunan).

3. DAMPAK POLIGAMI TERHADAP PEREMPUAN
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami:
a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
b. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
d. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.


4. SYARAT POLIGAMI (Pasal 5 UU Perkawinan)
Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:
a. adanya persetujuan dari istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri  dan anak-anak mereka (material);
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).
Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan
 

5. YANG BISA ANDA LAKUKAN
Mungkin sangat sulit mengharapkan keadilan, apalagi yang sifatnya immaterial dari suami yang menikah lagi dengan perempuan lain. Ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan:


* Persiapkan diri Anda
Menghadapi suami yang berniat poligami adalah sangat berat. Mental Anda harus siap menghadapi kemungkinan suami tidak lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh terhadap Anda. Belum lagi menghadapi berondongan pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya.
* Kewajiban Suami
Sebagai konsekwensi dari pembakuan peran dalam UU Perkawinan (suami adalah kepala keluarga dan istri pengurus rumahtangga) maka menjadi kewajiban suami untuk memenuhi nafkah bagi istri dan anaknya, juga memberikan biaya perawatan dan pendidikan anak. Begitupun ketika suami memutuskan menikah dengan perempuan lain, kewajiban itu tetap masih ada.
» Pasal 5 ayat 1 (point b) UU no.1/1974 menyebutkan: salah satu syarat yang harus dipenuhi suami agar permohonan poligaminya disetujui Pengadilan adalah adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
» Pasal 41 (poin c dan d) Peraturan Pemerintah RI No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 juga menyebutkan bahwa Pengadilan dapat memeriksa ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
a. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda- tangani oleh bendahara tempat suami anda bekerja ; atau
b. surat keterangan pajak penghasilan, atau;
c. surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Ingat, Anda harus hadir dalam proses pemeriksaan atas penghasilan suami ini (pasal 42 ayat 1 PP No.9/1975).
» Pasal 34 (ayat 1) UU No.1/1974 yang mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri menyebutkan: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya.

* Surat Perjanjian
Kepastian dari suami untuk menjamin kebutuhan hidup Anda dan anak-anak Anda seringkali tidak dilaksanakan. Atau bisa juga, dana untuk kebutuhan itu harus didapatkan dengan susah payah, bahkan terkadang seperti ‘mengemis-ngemis’. Bila keadaan itu menimpa Anda, maka menurut PP No. 9/1974 pasal 41 poin d yang pada intinya menyatakan bahwa Anda dapat meminta agar Pengadilan juga memeriksa ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil memenuhi kewajibannya dengan memerintahkan suami membuat surat pernyataan atau janji secara tertulis.
Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dapat ditunjukkan dengan membuat surat pernyataan atau janji dari suami (pasal 41 poin d, PP No. 9/1975).

6. Bantuan Hukum
Seringkali terjadi, para istri yang menerima suaminya berpoligami, akhirnya enggan untuk mengurus segala sesuatu, misalnya tentang nafkah. Hal ini diakibatkan karena istri sudah merasa kehilangan harapan. Atau bisa juga karena istri tidak mengetahui hak-haknya secara jelas.
Bila ini terjadi pada Anda, Anda bisa meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu.
Diantaranya:
» Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan)
» Lembaga lain yang konsern pada persoalan perempuan
» Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan
» Pengadilan yang memberikan ijin suami Anda berpoligami

Penentuan Awal-Akhir Ramadhan

Ada yang menyatakan, bahwa menentukan awal-akhir Ramadhan tidak harus dengan rukyat, tetapi bisa dengan hisab (perhitungan astronomi), sebagaimana yang digunakan dalam menentukan waktu shalat. Apakah memang boleh demikian? Jika tidak, mengapa? Bukankah, hisab boleh digunakan dalam menentukan waktu shalat, berarti seharusnya boleh juga digunakan untuk menentukan awal-akhir Ramadhan?
Untuk menjelaskan boleh dan tidaknya hal di atas, kami akan jelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1-  Allah SWT meminta kita agar beribadah sebagaimana yang Dia perintahkan. Jika kita beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang Dia perintahkan, maka kita telah melakukan kesalahan, bahkan apa yang kita lakukan itu kita anggap baik dan benar sekalipun.
2-  Allah SWT memerintahkan kita berpuasa dan berhariraya karena melihat hilal (rukyat al-hilal). Dia juga telah menjadikan rukyat sebagai sebab berpuasa dan berhari raya:
«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
Jika kita telah melihat hilal Ramadhan, maka kita berpuasa, dan jika kita melihat hilal Syawal, maka kita pun berhari raya.
3-  Jika kita tidak melihat hilal Syawal, misalnya, karena mendung benar-benar telah menyelimutinya, sekalipun hilal tersebut nyata-nyata ada, tetapi kita tidak bisa melihatnya, karena ada penghalang (mendung) yang menghalanginya, maka kenyataannya kita tidak akan berpuasa dan berhari raya karena alasan awal bulan. Sebab, haditsnya dengan tegas menyatakan:
«فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ»
“Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
4-  Allah SWT tidak membebani kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang tidak Dia perintahkan. Misalnya, kalau seandainya hisab (perhitungan astronomi) menyatakan, bahwa besok secara pasti adalah bulan Ramadhan —dimana pada zaman sekarang perhitungan astronomi bisa menetapkan posisi bulan sejak bulan tersebut lahir hingga bulan purnama, kemudian menyusut, serta menghitungnya dari waktu ke waktu— tetapi faktanya kita memang benar-benar tidak bisa melihat hilal tersebut, karena mendung misalnya, maka status orang yang berpuasa —karena perhitungan tersebut— adalah dosa, meski dengan alasan bahwa Ramadhan memang benar-benar telah masuk. Dia tetap dianggap berdosa, karena hilal belum bisa dilihat, tetapi dia tetap berpuasa, padahal seharusnya dia menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Setelah itu, baru berpuasa. Jadi, orang yang berpuasa Ramadhan dalam kondisi seperti ini pada dasarnya berdosa, karena dia telah melakukan pelanggaran. Sementara itu orang yang menyempurnakan hitungan Sya’ban juga belum berpuasa, meski hilal tadi nyata-nyata ada, tetapi tertutup awan, maka orang seperti ini tetap mendapatkan pahala karena mengikuti hadits Nabi di atas.
5-  Dari sini tampak dengan jelas, bahwa kita tidak berpuasa dan berhari raya karena faktor bulannya, tetapi karena melihat hilal. Jika kita telah melihatnya, maka kita wajib berpuasa. Jika belum melihatnya, maka kita pun tidak boleh berpuasa, sekalipun bulan tersebut —menurut perhitungan astronomi— benar-benar telah masuk.
6-  Jika ada sejumlah saksi, dan mereka telah memberikan kesaksian terhadap rukyat, maka mereka pun harus diperlakukan sama dengan kasus kesaksian yang lain. Jika saksinya Muslim dan tidak Fasik, maka kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi tersebut tampaknya bulan Muslim, dan tidak adil, atau Fasik, maka kesaksiannya tidak boleh diterima.
7-  Penetapan kefasikan saksi juga harus dilakukan melalui pembuktian syar’i, bukan berdasarkan perhitungan astronomi. Dengan kata lain, perhitungan tersebut tidak bisa digunakan untuk membangun hujah (argumentasi). Misalnya, Anda mengatakan, “Beberapa jam lalu, telah terjadi lahirnya anak bulan, sehingga sekarang tidak bisa dilihat…” Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ahli astronomi tentang tenggat waktu setelah lahirnya anak bulan yang memungkinkan dilakukannya rukyat. Jadi, kesaksian yang menjadi saksi perhitungan astronomi tersebut tidak boleh dijadikan hujah, tetapi perhitungannya bisa dibahas, dan dinyatakan benar setelah melihat hilal. Dia juga boleh ditanya, di mana hilal tersebut muncul, sementara yang lain menyaksikannya secara langsung. Begitu seterusnya. Setelah itu, kesaksian rukyat tersebut diterima atau ditolak berdasarkan prinsip ini.
8-  Siapa saja yang menelaah nas-nas yang menyatakan hukum puasa, pasti akan menemukan adanya perbedaan antara nas-nas yang menyatakan hukum shalat. Puasa dan hari raya telah dihubungkan dengan rukyat:
«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
« فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ»
“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 185)
Jadi, yang menentukan (puasa dan hari raya) adalah rukyat. Berbeda dengan nas-nas shalat, yang dihubungkan dengan waktu:
«أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ»
“Dirikanlah shalat, karena matahari telah tergelincir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)
«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»
“Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.” (HR. at-Thabrani)
Jadi, praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar Anda bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika Anda melakukanya, dan Anda bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat Anda pun sah. Jika Anda tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian Anda tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian Anda melihat jam Anda, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat Anda pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Mengapa? Karena Allah SWT telah memerintahkan Anda untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan kepada Anda untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya. Berbeda dengan puasa. Dia memerintahkan Anda berpuasa berdasarkan rukyat. Dia pun menentukan sebab (berpuasa dan berhari raya) untuk Anda. Lebih dari itu, Dia menyatakan kepada Anda: “Jika mendung menghalangi rukyat, sehingga tidak terlihat, maka janganlah Anda berpuasa, meskipun hilal tersebut ada di balik mendung, dimana Anda yakin hilal tersebut ada melalui perhitungan astronomi.”
9-  Allah SWT adalah pencipta alam ini. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan rinciannya adalah anugerah dari Allah kepada umat manusia. Tetapi, Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk beribadah dengan berpijak kepada perhitungan astronomi, tetapi memerintahkan kita untuk melakukan rukyat, sehingga kita pun beribadah kepada-Nya sebagaimana yang diperintahkan, dan tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang tidak diperintahkan.
Dengan demikian, hanya rukyat-lah satu-satunya penentu dalam berpuasa dan berhariraya, bukan perhitungan astronomi. Berangkat dari sana, maka saya tegaskan, bahwa perhitungan astronomi tersebut tidak boleh digunakan untuk berpuasa dan berhariraya, tetapi hanya rukyat-lah satu-satunya yang boleh. Sebab itulah yang dinyatakan dalam nas-nas syariah.

Penentuan Awal Bulan Hijriyyah

  “Perbedaan penetapan Ramadhan dan hari raya oleh beberapa organisasi keislaman acap kali membuahkan keresahan pada masyarakat umum, sehingga dibutuhkan adanya kepastian metode penetapan awal bulan sebagai rujukan untuk dijadikan pedoman. Selain itu andil pemerintah serta ketegasannya amat dibutuhkan guna menyatukan perbedaan tersebut”.
Waktu terus berjalan seiring perjalanan revolusi bumi mengitari matahari, dan perjalanan bulan mengitari bumi. Namun di balik itu sebenarnya ummat manusia amat memerlukan ketentuan-ketentuan pembatasan waktu untuk menyelaraskan aktifitas kesehariannya, baik yang menyangkut ekonomi, sosial, budaya maupun ritual ibadahnya.
            Sebagai muslim, kita harus mengetahui urutan waktu dan jadwal yang otentik sebagai acuan dalam melaksanakan aktifitas keagamaan. Cukup banyak ritual ubudiyyah dalam Syariat Islam yang terkait erat dengan perjalanan waktu baik dengan merujuk pada rotasi bumi yang secara lahiriyyah nampak sebagai perjalanan matahari mengitari bumi. ataupun yang bersandar pada revolusi bulan mengitari bumi. Diantaranya ialah kewajiban shalat, haji, puasa, kewajiban mengeluarkan zakat dan lain-lain. Seperti yang tersirat dalam firman Alloh SWT :
يسئلونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanalah: ‘bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (QS. Al-Baqarah:189)

Namun kalau harus mengupas semuanya itu, terlalu dangkal kemampuan kami untuk dapat  menjangkaunya. Karena itu, dalam kesempatan penulisan kali ini, topik pembahasan akan kami fokuskan pada uraian seputar penentuan awal bulan Qomariyyah.
            Dalam pembahasan tentang awal bulan Qomariyyah kita tidak bisa lepas untuk mengetahui tentang apa itu ilmu hisab, seputar rukyah dan konsekuensinya serta bagaimana para ulama menyikapi tentang keduanya. Secara khusus, pembahasan kami titik beratkan pada penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.  Dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti yang kita ketahui terjadi perbedaan penentuan awal Ramadlan dan Syawal. Hal inilah yang menimbulkan kebimbangan pada masyarakat luas.
 Kalau kita telaah, di negara kita terdapat tiga kelompok dalam menentukan awal Ramadlan :
  1. Kelompok yang hanya menggunakan rukyah, yaitu kelompok yang menentukan awal bulan berlandaskan rukyah saja tanpa menggunakan hisab sama sekali.
  2. Kelompok yang hanya menggunakan hisab, yaitu kelompok yang menggunakan hisab sebagai penentu awal bulan dan tidak mempertimbangkan sama sekali masalah rukyah, artinya penetapan awal bulan dapat dilakukan jauh hari sebelumnya.
  3. Kelompok yang menggunakan rukyah disertai hisab, yaitu kelompok  yang tetap menggunakan rukyah sebagai dasar satu-satunya dalam penetapan hilal, sedangkan hisab hanya sebagai alat bantu. 
Sebelum muqaddimah ini terlalu lebar untuk sekedar menjadi fungsinya, marilah kita ikuti penguraian tentang poin-poin utama dalam pembahasan kita kali ini.

 

I. HISAB


Sejarah mencatat bahwa hisab sudah ada sejak pada zaman yang belum mengenal teknologi, yaitu sebelum dimulainya kalender masehi. Pada saat itu ilmu ini mempunyai peranan yang sangat penting. Dan secara turun temurun diwariskan serta dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Mereka selalu berusaha untuk menyempurnakan dan mengembangkan rumus - rumus yang telah ada, serta memadukan dan membandingkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai pada zaman mereka. Sehingga tidak heran jika keanekaragaman teori dahulu masih mewarnai corak pemikiran ahli hisab pada zaman sekarang.    

Perkembangan pola pikir manusia juga menyentuh pada bidang ini, sehingga pada akhirnya menelorkan keanekaragaman aliran sebagai buah dari penggalian serta pengembangan konsep - konsep dasar. Menurut Susiknan Azhari,[1] setidaknya di Indonesia terdapat dua aliran hisab :
I.1. Hisab ‘Urfi.
Adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata - rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Menurut aliran ini, bilangan hari pada tiap - tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun - tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang satu hari. Karena menurut sistem ini, umur bulan Sya’ban dan Ramadlan jumlahnya tetap, yaitu 29 hari dan 30 hari.

I.2. Hisab hakiki
Adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini, setiap bulan jumlahnya tidak tetap dan tidak beraturan. Dari sistem ini muncul beberapa aliran dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Setidaknya - masih menurut Susiknan Azhari - ada dua aliran besar :
a. Aliran yang hanya berpegang pada ijtima’.[2]
Menurut sistem ini, awal bulan Qomariyah dimulai ketika terjadi ijtima’, berarti aliran ini tidak memperhitungkan hilal dapat dilihat atau tidak. Yang penting adalah ijtima’ merupakan pemisah diantara dua bulan (setelah ijtima’ adalah bulan baru dan sebelumnya termasuk bulan yang masih berjalan).
Aliran ini terbagi menjadi beberapa kelompok 
 Ijtima’ qobla al ghurub.
Kelompok ini menghubungkan antara ijtima’ dengan terbenamnya matahari. Artinya, jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu dikatakan bulan baru. Begitu pula sebaliknya jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokannya merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berjalan.
  • Ijtima’ qobla al fajr.
Aliran ini menetapkan jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru dan jika terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudahnya masih merupakan hari yang terakhir.
  • Ijtima’ dan terbit matahari.
Awal bulan menurut aliran ini, jika terjadinya ijtima’ di siang hari (mulai terbitnya matahari) maka malamnya sudah termasuk bulan baru, dan jika ijtima’ terjadi pada malam hari maka awal bulan dimulai hari berikutnya.
  • Ijtima’ dan tengah hari.
Menurut aliran ini, jika ijtima’ terjadi sebelum tengah hari maka hari itu termasuk bulan baru, tetapi seandainya ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka termasuk bulan yang sedang berjalan.
  • Ijtima’ dan tengah malam.
Dalam menentukan awal bulan aliran ini membuat suatu kriteria apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka awal bulan dimulai pada tengah malam, dan jika terjadi sesudah tengah malam maka awal bulan dimulai tengah malam berikutnya, sedangkan malam itu merupakan hari yang terakhir dari bulan itu.
 b. Aliran ijtima’ dan posisi hilal diatas ufuk.
 Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai sejak terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk. Berarti menurut aliran ini, terjadinya ijtima’sebelum terbenamnya matahari belum dapat untuk menentukan awal bulan, namun masih mempertimbangkan posisi hilal, apakah sudah berada di atas ufuk atau belum.
Aliran ini juga terbagi menjadi tiga :
  • Ijtima’ dan ufuk hakiki.
Aliran ini memberi kriteria awal bulan dimulai saat terbenamnya matahari setelah terjadi ijtima’ dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk hakiki.[3]          
  • Ijtima’ dan ufuk hissi.
Dalam menetapkan awal bulan menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada di atas ufuk hissi.[4]
  • Ijtima’ dan imkanur rukyah.
Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu diperhitungkan hilal sudah dapat dirukyah.

II. RUKYAH

Selain methode hisab, kita juga mengenal istilah rukyah untuk menentukan awal bulan. Arti rukyah itu sendiri ialah melihat hilal pada hari pertama kemunculannya. Makna kata melihat disini adalah melihat dengan mata telanjang, bukan dengan menggunakan alat bantu.[5]
Menurut madzhab Hanbali, melakukan rukyah pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban atau Ramadlan adalah sunnah, sebagai bentuk usaha ihtiyath (berhati-hati) dan mencegah adanya perbedaan.[6] Sedangkan madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki, hukum melakukan rukyah adalah wajib sosial[7] (fardhu kifayah), karena dengan rukyah kita bisa berpuasa ketika melihat hilal dan atau menyempurnakan tiga puluh.
Dari alasan di atas, tujuan melakukan rukyah adalah untuk mengetahui awal bulan yang  menuntut kita berpuasa, sebagai salah satu rukun Islam. Oleh karena itu, bagaimana mungkin perkara yang digunakan standar pemenuhan puasa yang notabene adalah kewajiban agama, hukumnya hanya sebatas sunnah. Meskipun mereka berbeda pendapat dalam soal hukumnya, namun mereka semua sepakat bahwa tidak ada tuntutan bagi setiap muslim untuk melakukan rukyah secara sendirian. Artinya,  untuk mengetahui terjadinya rukyah ada dua cara : 
  1. Rukyah secara langsung (melihat hilal di lapangan).
  2. Melalui kabar adanya rukyah.

II.1. Rukyah Secara Langsung. 
Ketajaman pandangan mata manusia itu relatif, sehingga sangat mungkin dalam satu daerah hanya satu orang yang melihat. Selain itu, keberadaan hilal awal bulan pada cakrawala yang langsung dapat dilihat dari bumi hanya sebentar. Tetapi dilihat dari sisi keberadaan kita dalam suatu masyarakat yang jelasnya mereka juga berusaha untuk mengetahui hilal, serta mempertimbangkan dampak negatif, apakah penglihatan satu orang tersebut bisa dibenarkan, yang nantinya ia dapat berlebaran diantara masyarakat yang sedang berpuasa atau sebaliknya.         
Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad sepakat ketika seseorang melihat hilal Ramadlan maka ia harus berpuasa. Tetapi dalam permasalahan hilal syawal, mereka berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i, orang tersebut harus berlebaran secara diam-diam (ikhfa). Dengan mengambil dalil dari hadits :
    صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena melihat hilal”
 An-Nawawi menuturkan, seseorang yang melihat hilal Syawal maka harus berlebaran dengan sembunyi-sembunyi. Menurutnya, jika melakukan lebaran secara terang-terangan hal itu bisa  menjerumuskan diri sendiri kepada fitnah (tuhmah) dan hukuman dari penguasa.[8]
Bahkan Imam Jalaluddin memberikan suatu penjelasan lebih rinci bahwa mereka yang melihat hilal Syawal harus berlebaran, tetapi disunnahkan secara diam-diam. Dan hakim berhak menghukum mereka yang melakukannya secara terang-terangan. Sehingga jika seseorang merasa yakin akan mendapatkan hukuman  bila berlebaran secara terang-terangan, maka harus melakukannya dengan diam-diam saja .[9]
Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad  mengharuskan orang tersebut tetap berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath).[10] Dengan mengambil dasar dari hadits Abi Hurairah :
 الفطر يوم يفطرون والاضحى يوم يضحون
Dalam kitab Aunul Ma’bud [11] juga terdapat hadits tersebut dengan teks yang lebih jelas :
عن ا بى هريرة ان النبى قا ل الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون والاضحى يوم تضحون
Nabi SAW bersabda : “Hari puasa adalah hari saat kamu semua berpuasa, Idul fitri adalah hari saat kamu semua berlebaran, dan Idul adha adalah hari saat kamu semua merayakannya.”

 

Kami memandang hadits yang dijadikan dasar larangan berlebaran bagi orang yang melihat hilal syawal sendirian, ternyata dalam teksnya juga mengikut sertakan masalah puasa. Jadi kenapa dalam masalah lebaran harus dibedakan dengan puasa?. Selain itu terdapat hadits Nabi yang dengan jelas mengharuskan berpuasa dan berlebaran ketika melihat hilal secara langsung, baik sendirian atau bersama-sama. Meskipun realisasinya secara terang-terangan atau diam-diam sebagai bentuk menghindari mafsadah yang timbul. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung memilih pendapatnya Imam Syafi’i.
II.2. Kabar Rukyah.
Menurut ijma’, berita rukyah itu dapat dibuat dasar melakukan puasa dan berlebaran. Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang berapa jumlah minimal orang yang mengkabarkan tentang terlihatnya hilal yang bisa dijadikan sebagai dasar penentuan awal bulan.[12] Namun perlu diketahui bahwa perbedaan ini adalah merupakan salah satu bentuk obyektifitas para ulama’ dalam menyikapi dalil untuk menentukan suatu hukum.

  1. Menurut Imam Malik, untuk berpuasa dan berlebaran tidak boleh berlandaskan pada kesaksian kurang dari dua orang,[13] dengan dasar hadits :

عن عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب أنه خطب الناس في اليوم الذي يشك فيه فقال إني جالست أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وسألتهم وكلهم حدثوني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين فإن شهد شاهدان فصوموا وأفطروا

Bersumber dari Abdurrahman bin Zaid bin al Khattab, bahwa ia berpidato di hadapan manusia pada hari yang masih diragukan. Kemudian ia bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi dan mereka mengatakan, sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda : “Jika ada dua orang yang bersaksi maka berpuasalah dan berbukalah kalian semua.”

  1. Imam Syafi’i dengan berdasar hadits Abdurrohman bin Zaid tadi juga dengan mempertimbangkan hadits dari Ibnu Abbas :

حديث ابن عباس أنه قال جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال أبصرت الهلال الليلة فقال أتشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله قال نعم      قال يا بلال أذن في الناس فليصوموا غدا

Bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Saya telah melihat hilal pada malam ini. “Beliau bertanya : “Apakah kamu sudah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusannya ?” Ia menjawab: ”Sudah.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Bilal, beritahukan kepada manusia untuk berpuasa besok.”
 beliau  memilah-milah antara hilal Ramadlan dan hilal Syawal. Artinya, untuk berlebaran harus ada kesaksian minimal dua orang, dan untuk berpuasa cukup dengan ada kesaksian satu orang saja.

  1. Imam Abu Hanifah dalam memberikan kriteria batasan minimal, lebih menitikberatkan pada kondisi lapangan, sehingga dibedakan antara cuaca yang cerah dan cuaca yang berawan. Dalam keadaan cerah  harus ada kesaksian satu golongan, dan dalam cuaca berawan cukup kesaksian satu orang.[14]

  1. Menurut Imam Abu Tsaur, kesaksian satu orang sudah cukup untuk dijadikan dasar untuk berpuasa atau berlebaran, tanpa membedakan antara hilal Syawal dan hilal Ramadlan, baik dalam keadaan cerah atau berawan. Beliau mengambil dasar dari kedua hadits di atas juga pada satu hadits yang lain yaitu:

عن ربعي بن خراش عن رجل من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قال كان الناس في آخر يوم من رمضان فقام أعرابيان فشهدا ثم النبي صلى الله عليه وسلم لأهل الهلال أمس عشية فأمر رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس أن يفطروا وأن يعودوا إلى المصلى
Bersumber dari Ruba’i bin Kharash dari seorang sahabat Nabi SAW ia berkata bahwa ketika manusia berada di akhir bulan Ramadlan, ada dua orang desa datang dan bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore, di hadapan penduduk  setempat Nabi SAW memerintahkan mereka supaya berbuka dan kembali ke tempat shalat.
Beliau melihat bahwa hadits-hadits diatas tidak bertentangan, bahkan menunjukkan diperbolehkan untuk memilih salah satu. Dengan kata lain, dalam satu kesempatan Nabi SAW memutuskan berdasarkan kesaksian satu orang, dan pada kesempatan lain beliau memutuskan berdasarkan perkataan dua orang.
 Pensyaratan adad (lebih dari satu) dalam syahadah adalah pada perkara yang rawan pertentangan/pertikaian, yaitu pada hak - hak dan perkara syubhat yang membutuhkan suatu kejelasan, dimana posisi syahadah sebagai landasan untuk memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Sehingga untuk dapat lebih memantapkan suatu persangkaan dan menguatkan pada argumen salah satu pihak, disyaratkanlah adad dalam syahadah. Sedangkan pada permasalahan rukyah hilal tidak terdapat syubhat yang membutuhkan kejelasan dengan adad.
Abu Bakar bin al Mundhir mengatakan adanya ijma’ dalam kewajiban berbuka atau imsak sebab perkataan satu orang. Oleh karena itu, masalah awal dan akhir bulan seharusnya juga disamakan, mengingat keduanya juga merupakan perkara yang memisahkan antara waktu  puasa dan berbuka.[15]
 Setelah kita mengetahui seputar masalah tentang hisab dan rukyah serta ruang lingkup masing-masing, selanjutnya mari kita telaah pendapat ulama dalam penetapan awal bulan, dan sikap mereka ketika ada pertentangan antara hasil hisab dan rukyah.

 

 

III. PENGGUNAAN HISAB DAN RUKYAH

Dalam kedua metode tersebut mempunyai sistem dan caranya masing-masing, dimana diantara keduanya hampir tidak ada keterkaitan sama sekali. Berangkat dari sini, juga dengan penelaahan dalil-dalil dalam Syara’, dikalangan  para Ulama’ terdapat perbedaan pendapat tentang penggunaan kedua metode penentuan awal bulan tersebut.
 Menurut jumhur ulama, dalam penetapan bulan puasa tidak boleh menggunakan metode hisab, melainkan harus dengan melihat (rukyah) hilal. Ibnul Abidin mengatakan, ulama kita tidak berpegang pada perkataan ahli perbintangan dalam menetapkan awal bulan Ramadlan, karena dasar kewajiban berpuasa adalah melihat hilal bukan lahirnya hilal (hilal jadid). Sedangkan lahirnya hilal sebenarnya didasarkan pada metode falak bukan rukyah. Dan lahirnya hilal pada suatu malam terkadang dapat dilihat dan tidak, sedangkan Islam mendasarkan puasa pada melihat hilal secara nyata bukan lahirnya hilal.[16] Bahkan ia mengutip adanya ijma’ yang tidak menerima  perkataan yang menentukan awal bulan.[17]
An-Nawawi dalam Syarah li Shahih Muslim mengatakan, kewajiban melakukan puasa dan lebaran karena ada rukyah, dan ketika langit tertutup awan maka umur bulan disempurnakan tiga puluh hari. Bahkan Ibnu Hajar Al Asqalani dengan tegas menolak hisab agar tidak memberatkan umat. Meskipun terkadang faktor kemajuan teknologi memungkinkan seseorang untuk mengetahui hilal dengan hisab, beliau lebih mengedepankan dhohir hadits yang menjelaskan bahwa hisab tidak dapat dijadikan dasar hukum.[18]
Dalam hal ini jumhur Ulama’ mempunyai sebuah logika Syari’at yaitu bahwa Syari’at memberlakukan sistem alami dan metode natural agar dapat mencakup seluruh umat Islam, dan ketika membuat suatu batasan adalah dengan “perkara“ yang dapat diketahui kebanyakan manusia. Dengan demikian, keberadaan pakar ilmu hisab (astronomi) dan perbintangan (nujum/astrologi) bukan merupakan suatu keharusan, karena seandainya pusat rujukan hukum-hukum Islam yang terkait dengan hilal menggunakan ilmu tersebut, tentunya kebanyakan umat manusia tidak tahu.
Sementara Imam Burhanuddin menjelaskan, saat bulan mengorbit akan sampai pada titik dimana posisinya sejajar/berhadapan dengan matahari (baca: ijtima’). Pada keadaan seperti ini bulan seperti tenggelam dalam sinar matahari selama dua atau tiga menit, dan kemudian meninggalkan matahari sampai jarak keduanya ada beberapa derajat. Sebenarnya pada keadaan seperti ini (ijtima’/konjungsi) bulan sudah muncul, namun belum dapat dilihat dari bumi kecuali setelah kira-kira dua puluh jam dari meninggalkan matahari.[19] Sedangkan tidak ada hukum-hukum Islam yang pelaksanaannya digantungkan dengan waktu tersebut yaitu mulai lahirnya bulan. Namun keterkaitan hukum-hukum Islam adalah dengan terlihatnya hilal dengan mata biasa.
    Selain itu Jumhur Ulama’ juga mengajukan dalil utama Syari’at yaitu hadits Nabi SAW :
صو موا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان اغمى عليكم فاكملوالعدة ثلا ثين
 “Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah hitungan (menjadi) tiga puluh hari.”[20]
Dimana hadits di atas menjelaskan bahwa penggunaan metode falak/hisab dalam permasalahan hilal bukan merupakan perkara yang diharuskan Syari’at, seperti tidak diwajibkannya rukyah hilal bagi setiap muslim. Akan tetapi yang dituntut adalah kaum muslimin harus berpuasa ketika hilal sudah dilihat dengan mata telanjang (tanpa alat bantu) pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban, dan berlebaran ketika hilal dilihat pada tanggal dua puluh sembilan Ramadlan. Dan seandainya tidak dapat dilihat, maka hitungan bilangan bulan yang sedang berlangsung disempurnakan (tiga puluh hari). Artinya dasar penentuan awal bulan Ramadlan atau Syawal adalah melihat hilal, bukan berdasarkan wujudnya hilal pada cakrawala (baca: hilal jadid/lahirnya hilal) dan atau kemungkinannya untuk dapat dilihat yang diperoleh dari hasil penghitungan falak, karena sabda Nabi SAW  ‘fain ugmiya alaikum’ mencakup keadaan dimana hilal ada pada cakrawala dan mungkin untuk dilihat, akan tetapi pada kenyataan di lapangan hilal tidak dapat dilihat sebab terhalang awan dan atau kabut.  Makna hadits diatas  selaras dengan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi :
ان رسول الله r قا ل لاتصوموا حتى تروه ثم صوموا حتى تروه فان حا ل دونه الغما مة فا تموا العدة ثلا ثين
 “Sesungguhnya nabi SAW bersabda :“Janganlah kamu sekalian berpuasa sebelum melihat hilal. Kemudian berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan ketika awan menghalangi hilal maka sempurnakanlah hitungan tiga puluh hari”
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فا ن حا ل دونه غيا بة فا كملوا ثلا ثين يوما
 “Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, ketika hilal terhalang dari kamu maka sempurnakanlah tiga puluh hari.”

Disamping itu juga ada hadits lain yang menjelaskan tidak adanya tuntutan menggunakan perhitungan falak,
 إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا مرة تسعة وعشرين ومرة ثلا ثين
 “Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan  tidak pernah menggunakan hitungan, bulan adalah begini dan begini, terkadang dua puluh sembilan dan terkadang tiga puluh[21]
Dari hadits tersebut sudah jelas,  bahwa Nabi SAW tidak pernah menggunakan suatu kaidah hisab dan membuat jadwal untuk menentukan hilal setiap bulan.[22] Dan memang kita tidak membutuhkan hal tersebut,[23] sebab jumlah hari dalam setiap bulan tidak sama (dua puluh sembilan dan atau tiga puluh). Sehingga yang dapat digunakan untuk membedakan hanya rukyah, mengingat kaidah tersebut tidak dapat memberikan suatu batasan secara konkret (terkadang benar dan salah).
Disamping itu, banyaknya aliran dan perbedaan diantara mereka (ahli hisab) dalam memprediksi atau menentukan awal bulan, yang semua itu dipengaruhi keanekaragaman perbedaan mengenai “kapan ijtima’ dan dimanakah posisi hilal” yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa sekarang mulai awal bulan atau hari terakhir dari bulan yang berlangsung, adalah bukti bahwa mereka (dalam artian umum, yaitu semua ahli hisab) tidak pernah mencapai kata sepakat.     
 Namun sebagian ulama memperbolehkan penetapan awal Ramadlan dan Syawal dengan menggunakan metode hisab. Bahkan imam As-Subki memilih memenangkan hisab ketika bertentangan dengan rukyah. [24]
Ibnu  al ‘Arabi mengutip dari ibnu Suraij bahwa sabda Nabi SAW “faqduruu lahu” merupakan khithob khusus bagi yang mendalami ilmu hisab, sedangkan “faakmiluu al iddah” adalah khitob bagi orang umum. Sehingga -masih menurut Ibnu al ‘Arabi- kewajiban berpuasa menurut Ibnu Suraij relatif, sebagian orang berdasarkan hisab dan yang lain menggunakan penyempurnaan tiga puluh.[25] Pertama kali yang menyuarakan kebolehan menentukan awal bulan dengan menggunakan metode hisab adalah Mathrof  bin Abdullah ibnu al Syakhir[26]
Menanggapi dalil yang dikemukakan Ibnu Suraij, jumhur ulama’ mengatakan bahwa kalimat  faqdurulah dijelaskan[27] (ditafsiri) oleh riwayat:   
فأكملوا العدة ثلا ثين
“Maka kamu sampurnakanlah hitungan tiga puluh hari“
Oleh karena itu kalimat faqduruu lahu dan kalimat faakmiluu al iddah‘ tidak ada yang kumpul dalam satu riwayat. Dan hal ini dikuatkan riwayat yang menyatakan :

فاقدروا له ثلا ثين

“ Maka kalian perkirakanlah (hitungan) hilal menjadi tiga puluh ”
 Nash-nash yang diriwayatkan dari Rasulullah tadi dengan jelas menunjukkan bahwa standar penetapan awal bulan Ramadlan adalah rukyah atau penyempurnaan umur bulan (tiga puluh hari). sehingga kita tidak boleh mendasarkan hukum-hukum Islam pada hilal yang ditetapkan dengan rumus hitung (ilmu falak/astronomi). Karena meskipun ilmu tersebut menunjukkan terhadap sesuatu, namun sebatas kemungkinan-kemungkinan. Artinya, hanya menunjukkan bahwa hilal  mungkin dirukyah dan mungkin tidak, bukan menunjukkan sudah ada rukyah, yang memang data tersebut hanya dapat diperoleh dari pembuktian di lapangan.  
 Bahkan para ulama melarang mengadopsi perkataan ahli perbintangan[28] dan ahli falak dalam menetapkan hilal, meskipun ketetapan mereka sering benar. Selain itu Islam melarang mendalami ilmu perbintangan karena hanya sebatas dugaan.[29] Mengenai larangan mengambil perkataan mereka -menurut kami- merupakan antisipasi agar dalam menentukan awal bulan, umat Islam tidak sepenuhnya berpegangan dengan hisab tanpa memperdulikan rukyah, sebab hadits Nabawiyah menginformasikan dengan tegas bahwa dalam penetapan awal bulan harus dengan rukyah atau penyempurnaan tiga puluh hari. Dan Nabi SAW sendiri tidak pernah dan tidak akan pernah berpegangan pada hisab. Karena itu, seandainya hisab hanya sebatas untuk membantu atau mempermudah rukyah, seperti untuk memprediksi letak hilal maka menurut kami diperbolehkan, bahkan lebih menjauhkan dari suatu kesalahan.
Dengan demikian, penetapan awal bulan Ramadlan atau Syawal yang hanya menggunakan dasar hisab tanpa melihat hilal, merupakan suatu sistem yang tidak punya tendensi dari Hadits maupun Al-Qur’an.
IV.  Pertentangan Hasil Hisab dan kesaksian Rukyat
Maksud kami di sini adalah ketika hasib (ahli hisab) menetapkan bahwa hilal tidak mungkin untuk dirukyah, akan tetapi pada saat itu ada yang bersaksi telah melihat hilal, semisal hasib mengatakan bahwa rukyah baru mungkin pada hari selasa namun ada orang yang mengkabarkan telah melihat hilal pada hari senin.
Pada kasus ini juga terdapat dua pendapat :
1. Mengunggulkan hisab dan menolak kesaksian rukyah, sebab hisab adalah perkara yang pasti (qoth’i) sedangkan kesaksian rukyah adalah dzonni. Dan syarat dari diterimanya kesaksian rukyah adalah mungkinnya hilal untuk dilihat, baik dari sisi syara’, akal, maupun adat (kebiasaan).
2. Menolak hasil hisab dan menetapkan rukyah.
 1. Menolak Kesaksian Rukyah
a. Posisi akal dalam Islam
Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah yang asli dan akal yang sehat, sehingga hukum-hukum Islam tidak akan berbenturan dengan hal tersebut. Imam Syatibi mengatakan, “ setiap pengertian yang tidak berlandaskan pada dasar-dasar syari’at atau kaidah-kaidah aqliyah tidak dapat dibuat dasar”.[30] Ulama’ usul hadits sepakat pada satu kaidah bahwa riwayat tsiqat (otentik), syahadah dan kabar pada perkara yang mustahil menurut akal dan adat itu tidak bisa diterima. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam syarah Nukhbatul Fikri menjelaskan, termasuk untuk bisa mengetahui hadits maudu’ adalah dengan melihat rawi (orang yang meriwayatkan hadits) dan marwi (isi hadits yang diriwayatkan), seperti bertentangan dengan teks Al Qur’an, hadits yang mutawatir, ijma’ dan atau akal sehat.
Namun yang perlu digaris bawahi ialah, harus dibedakan antara perkara yang di luar jangkauan  akal sebagian manusia dan yang memang berseberangan dengan akal, sehingga kita tidak terburu-buru melarikan semua perkara pada pendapat diatas. Selain itu, tidak  boleh bersandar pada ucapan semua manusia tanpa menyeleksinya terlebih dahulu. Artinya, untuk mengetahui apakah suatu perkara bertentangan dengan akal atau tidak, harus dikembalikan kepada sekelompok orang yang ahli, berakal sehat, dan tidak mungkin sepakat berbuat kebohongan.
 b.Syarat al Mashud adalah Sesuatu yang Mungkin.
Menurut ilmu astronomi dengan dasar istiqra’ (penelitian), pada akhir setiap bulan hilal akan sampai pada derajat (tingkatan) yang sejajar dengan matahari, yang dalam istilah mereka disebut ijtima’/lahirnya hilal. Dan pada saat itu, hilal tidak mungkin dirukyah, kecuali minimal setelah tujuh belas jam.[31] Dengan demikian kesaksian melihat hilal pada waktu hilal belum terbit atau setelah terbit namun sebelum tujuh belas jam dari terbitnya sama dengan mengkabarkan suatu perkara yang mustahil menurut ilmu dan akal, sehingga harus ditolak karena syarat diterimanya kesaksian rukyah adalah jika hilal merupakan perkara yang mungkin dirukyah, baik dari sisi syara’, akal maupun kebiasaan (adat).[32] 
Ucapan ahli falak bahwa hisab adalah sesuatu yang pasti dikuatkan berdasarkan ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT membuat garis orbit untuk matahari dan bulan. Dan pada saat mengorbit keduanya tidak akan pernah menyimpang atau melebihi batasan yang ditentukan.
 والشمس والقمربحسبا ن
“Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. “ (QS. Ar-Rahman :5)
Dalam ayat tadi, matahari dan bulan mempunyai tempat pasti (garis orbit) dan berjalan sesuai waktu yang ditetapkan. Artinya, tidak akan terlambat atau melebihi batas waktu.[33]   
والقمر قد رناه منا زل حتى عاد كالعرجون القديم
“Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (QS. Yasin : 39)
Dalam ayat tersebut Allah membuat kepastian perjalanan bulan pada manazilnya,[34] dan setiap malam, bulan berada pada posisi yamg telah ditetapkan. 
Uraian di atas menunjukkan kesaksian seseorang atas rukyah, yang ahli hisab sudah mengatakan bahwa pada hari itu hilal belum dapat dirukyah, dianggap sebagai kesaksian yang didasarkan pada dugaan belaka sehingga tidak bisa diterima, karena ucapan ahli hisab dalam masalah ini adalah suatu kepastian yang didasarkan pada penelitian.

2. Menolak hasil hisab dan memenangkan rukyah.
Kelompok kedua berpendapat bahwa perkataan mungkin atau tidaknya hilal untuk dilihat itu bersifat spekulatif (dzonni) bahkan merupakan suatu kebohongan. Adapun perkara yang qath’i adalah setiap pengetahuan yang datangnya dari syari’ yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun lewat Rasul-Nya, atau penjelasan dari manusia yang sampai pada tingkat yang sangat meyakinkan.
Dalam masalah hilal, syari’ telah menjelaskan bahwa yang dapat dibuat standar penetapan awal bulan adalah rukyah dan penyempurnaan tiga puluh hari. Sedangkan penjelasan ahli hisab masih sebatas dugaan yang belum pasti. Buktinya, ada banyak perbedaan di antara mereka dalam memberikan kriteria awal bulan (lihat pembahasan pertama).

Ketua lembaga bagian astronomi dan geofisika London mengatakan, secara hakikat tidak mungkin membuat batasan (menentukan) rukyah hilal, dan berkeyakinan tidak ada metode ilmiah yang dapat menyempurnakan syari’at Islam dalam masalah ini (ru’yatul hilal).[35] Begitu juga, majelis pembelajaran ilmu falak mengemukakan, tidak mungkin bisa memprediksi atau menentukan waktu rukyah, sebab tidak ada kesaksian yang dapat dipercaya. Dan ketika ada yang memprediksi maka hanya sebatas dugaan.[36]                 

 

 V.   APAKAH MATHLA’ BULAN DIPERTIMBANGKAN

Perbedaan mathla’ bulan dalam suatu daerah adalah sesuatu yang jelas dan nyata sebagai akibat dari gerakan benda-benda langit, sehingga orang yang mengingkarinya adalah orang yang  bodoh, begitu juga mathla’ matahari.[37]
Perbedaan mathla’ matahari dianggap oleh Islam, dan ini yang menyebabkan perbedaan waktu ibadah antar tiap daerah -akibat dari perbedaan terbit dan tenggelamnya matahari- artinya setiap daerah memiliki waktu shalat dan waktu berbuka puasa yang berbeda dengan daerah lain. Ketetapan ini berlaku sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang. 
Oleh karena itu, anggapan waktu shalat atau berbuka puasa sama dalam semua belahan bumi adalah mustahil dan keliru, karena posisi setiap daerah pada bola dunia tidak sama (arah dan jarak) didalam garis bujur maupun lintang.[38]
اقم الصلا ة لدلوك الشمش إلى غسق الليل وقرءان الفجر
 “Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh”. (QS. Al Isro’ : 78)

وكلوا وشربواحتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر

"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". (QS. Al-Baqoroh : 187)
Perbedaan Pendapat Para  Ulama
Yang menjadi obyek perbedaan adalah mathla’ bulan pada setiap daerah, apakah dianggap berpengaruh dalam penetapan awal masuk bulan - seperti Ramadlan- atau tidak.[39] Konsekuensinya, jika kita katakan perbedaan mathla’ dianggap berpengaruh, maka rukyah pada suatu daerah tidak mengharuskan daerah lain yang tidak melihat hilal pada mathla’nya untuk ikut berpuasa, baik yang letaknya jauh atau dekat. Sebab, setiap daerah itu harus mengikuti mathla’ dan rukyahnya sendiri, seperti yang berlaku pada masalah waktu ibadah. Dan rukyah hilal di belahan bumi timur tidak menetapkan (memastikan) adanya rukyah pada daerah barat. Ketika kita katakan bahwa perbedaan mathla’ tidak dianggap, maka rukyah di belahan timur menetapkan adanya rukyah di sebelah barat, bahkan rukyah pada suatu daerah menetapkan masuknya awal bulan di semua belahan bumi, meskipun mereka tidak melihat hilal pada mathla’nya.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mathla’ bulan dianggap seperti halnya mathla’ matahari. Hanya saja ada yang mensyaratkan jarak antar setiap daerah tersebut harus berjauhan. Dan pada daerah yang berdekatan -menurut mereka- mathla’ tidak berpengaruh,[40] karena secara gholib mathla’nya sama, sehingga daerah yang berdekatan dianggap satu mathla’. Dalam membatasi dua daerah dikatakan berjauhan, juga terjadi perbedaan pendapat. Namun menurut pendapat yang shahih, dua daerah dikatakan berjauhan jika memang mathla’nya tidak sama.[41] Dalam artian yang menjadi standar penentuan dua daerah dikatakan berjauhan adalah mathla’[42]. Para ulama’ ini dalam mengajukan pendapat mereka dengan menggunakan pijakan sebagai berikut:
a. Dalil naqli.
عن كريب أن أم الفضل، بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمت الشام، فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان ، وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني عبد الله بن عباس ، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة ، فقال: أنت رأيته؟ فقلت: نعم! ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه ، فقلت ، الا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Bersumber dari Kuraib, sesungguhnya Ummu al-Fadl menyuruhku menemui Muawiyyah di Syiria. Setelah menyelesaikan urusanku, posisi hilal Ramadlan sudah masuk sedangkan aku masih berada di Syiria, di mana aku melihat hilal pada malam jum’at. Ketika aku pulang ke Madinah pada akhir bulan, kemudian Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku. Lalu aku ceritakan masalah hilal. Ia bertanya : “Kapan kamu melihat hilal ?” Aku menjawab : “Malam jumat.” ia bertanya lagi : “Apakah kamu melihatnya sendiri ?.” Aku menjawab : “Ya, dan manusia juga melihat hilal dan berpuasa beserta Muawiyyah.” Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami melihat hilal pada malam sabtu, oleh karena itu kami tetap berpuasa sehingga menyempurnakan tiga puluh atau melihat hilal.” Aku bertanya : “Apakah kita tidak cukup dengan rukyahnya Muawiyyah dan puasanya ?.” Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, seperti inilah Rasulullah SAW memerintahkan kita.”.
Dalam hadits tadi, Ibnu Abbas menolak menetapkan puasa di Madinah berdasarkan rukyah  penduduk Syira.
Penolakan Ibnu Abbas karena mengikuti perintah Nabi SAW. Dan hal ini menunjukkan bahwa penetapan awal bulan terhadap penduduk suatu daerah yang berdasarkan rukyah daerah lain bertentangan dengan perintah Syari’, berupa keharusan menetapkan setiap daerah berdasarkan mathla’nya -dalam hal rukyah- atau menyempurnakan tiga puluh hari bilamana hilal tidak dapat dirukyah pada tanggal dua puluh sembilan. Jadi penolakan ini bukan hasil ijtihad ibnu Abbas sendiri, sehingga tidak boleh kita katakan bahwa penolakan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dasar argumen.
Menurut ahli hadits, kalimat haakadza amarona Rasululloh adalah bagian dari kalimat yang ada dalam hadits marfu’,[43] sedangkan  suatu hadits tidak dikatakan marfu’ kecuali adanya dalil -meskipun tidak secara jelas- yang menunjukkan bahwa hadits ini marfu’, dan dalil yang menunjukkan adalah hadits yang diceritakan oleh ibnu Umar. Menurut as-Syaukani yang menjadi hujjah adalah “apa” yang disandarkan pada Nabi SAW dari cerita Ibnu Abbas, bukan ijtihad yang ia lakukan.[44]
Dan juga berdasarkan pada hadits riwayat ibnu Umar :
لا تصومو حتى تروا الهلا ل ولا تفطروا حتى تروه فا ن غم عليكم فا كملوا العدة ثلا ثين
 “Janganlah kamu sekalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan jangan berlebaran sehingga melihat hilal, bila hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah hitungan  tiga puluh hari.”
Syari’ menggantungkan hukum -puasa dan lebaran- dengan rukyahnya setiap orang, namun -dalam kesempatan lain- juga menjelaskan bahwa kesaksian yang benar itu dianggap, dimana diposisikan pada rukyahnya setiap orang. Artinya rukyah sebagian penduduk suatu daerah sudah mewakili dan punya konsekuensi mengharuskan puasa semua penduduk daerah tersebut. Sedangkan daerah yang jauh dari tempat rukyah (tidak satu mathla’) masih menetapi hukum asli [45](keumuman hadits), yaitu wajib berpuasa berdasarkan rukyah pada mathla’mereka.
b. Dalil Aqli.
Perbedaan mathla’ merupakan sebab yang membedakan permulaan bulan, karena setiap mathla’ memiliki hukum sendiri. Sedangkan masuknya bulan Ramadlan menjadi sebab kewajiban berpuasa, sehingga masuknya bulan puasa pada suatu daerah yang berdasarkan rukyah tidak menetapkan daerah lain yang berbeda mathla’.
 c. Qiyas.
Secara ijma’, mathla’ matahari dianggap berlaku sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang, Dan ini yang membedakan waktu shalat antar daerah. Oleh karena itu mathla’ bulan dianalogkan pada mathla’ matahari, dengan jami’ keduanya merupakan benda langit yang memiliki garis orbit dan berpengaruh pada waku ibadah dan awal bulan.[46]
 d. As-Subki berlandaskan pada sikap Khulafaur Rasyidin, dimana tidak diketemukan bahwa mereka mengirim surat kesemua daerah Islam ketika hilal sudah dilihat pada sebagian daerah, dengan tujuan untuk menetapkan adanya rukyah dan masuknya bulan semisal Ramadlan.
 Menurut jumhur ulama, mathla’ bulan dianggap tidak berpengaruh dalam menentukan bulan Ramadlan pada setiap daerah, sehingga rukyah di suatu daerah juga berlaku pada semua daerah yang lain, baik yang dekat maupun yang jauh. Pendapat ini berdasarkan pada :
 a. Dalil Naqli

صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته

 “Puasalah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berlebaranlah karena melihat hilal ”
Hadits tersebut menjelaskan  bahwa Syari’ menggantungkan khithab ‘am (hukum yang umum) pada lafal “shuumuu” dengan kemutlakan rukyah. dalam kaidah ushul fiqh “lafal yang berbentuk mutlak diberlakukan kemutlakannya” selama tidak ada perkara yang membatasi pengertiannya. Dan bentuk kemutlakan direalisasikan pada setiap bagian dari perkara itu sendiri. Dengan demikian, melihat hilal pada mathla’ manapun sudah dikatakan sebagai bentuk rukyah, yang nantinya menetapkan hukum yang umum,[47] berupa kewajiban puasa bagi seluruh umat Islam dimanapun tanpa memperhitungkan mathla’ setiap daerah -tentunya bila mengetahui adanya ketetapan rukyah-.
Dan Al Quran :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Karena itu barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al Baqoroh : 185)
Ayat diatas menjelaskan, puasa diwajibkan ketika mengetahui bulan Ramadlan, tidak mengkhususkan ketika melihat hilal.
Menurut Ibnu Qodamah, setelah ada ketetapan bahwa hari ini bulan Ramadlan berdasarkan kesaksian orang yang dapat dipercaya (syahadah tsiqoh), maka wajib puasa bagi semua orang Muslim.[48] Artinya kewajiban puasa digantungkan pada bulan Ramadlan.
 b. Dalil Aqli.
Bulan Ramadlan berada di antara dua hilal (awal malam Ramadlan dan awal malam Syawal) sehingga ketika awal bulan Ramadlan telah ditetapkan berdasarkan rukyah pada mathla’ manapun, tentunya hal tersebut menunjukkan masuknya awal bulan Ramadlan.

Dalam menanggapi dalil-dalil yang diajukan kelompok pertama, jumhur Ulama’ telah memberi sanggahan-sanggahannya sebagai berikut:
  1. Menurut kelompok pertama kemutlakan hadits - صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته  - dibatasi pengertiannya oleh hadits - صوموا حتى تروا الهلا ل-   karena arti lafad - tarou - adalah rukyahnya setiap orang -lihat keterangan diatas-. Akan tetapi ditolak oleh Jumhur Ulama’, karena hadits yang kedua dapat dijadikan qayyid jika khithob pada hadits pertama dikhususkan pada setiap masyarakat dalam satu daerah. Dan kenyataannya khithob hadits tersebut bersifat umum [49] yang mencakup semua orang, sehingga kedua hadits tersebut pengertiannya sama, yaitu :
صوموا اذا رءي الهلا ل او لاتصوموا حتى تقع منكم رؤية الهلا ل
 Puasalah kamu sekalian ketika hilal sudah dilihat, “atau” janganlah kamu berpuasa sehingga dari kamu ada yang melihat hilal.
Bukan mengkhususkan setiap kaum untuk rukyah sendiri-sendiri. Uraian di atas menunjukkan bahwa istidlal Ibnu Abbas dengan mengatakan “hakadza maa amarona Rasulullah” adalah murni ijtihad beliau. Sedangkan pemahaman sahabat tidak dapat dijadikan hujjah kecuali ijma’ mereka. Dan dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan dari sahabat, dengan bukti adanya perbedaan diantara Ulama’.
  1. Jumhur Ulama’ menentang penganalogkan mathla’ bulan dengan mathla’ matahari. Mereka menjelaskan bahwa matahari setiap hari pasti berhadapan dengan bumi, tetapi secara gradual (tadriji), sebab bentuk bumi adalah bulat dan selalu berotasi. Artinya, sinar matahari akan mengenai bumi dengan silih berganti sesuai keberadaan dan posisi setiap daerah dilihat dari garis bujur dan lintang. Sehingga terbit, tenggelam, dan keberadaan matahari diatas kita (tengah hari) tidak sama antara daerah satu dan yang lain. Berbeda dengan bulan yang permulaannya  (lahirnya hilal) dimulai dari meninggalkan matahari setelah posisinya bersejajar (baca : ijtima’), keadaan ini tidak akan berbeda sebab perbedaan letak suatu daerah. Dengan demikian, dilihatnya hilal pada mathla’ manapun menunjukkan hilal sudah muncul dan pada malam itu bulan Ramadlan dimulai. Artinya awal bulan tidak relatif (pada masing-masing daerah) akan tetapi secara menyeluruh.[50]            
  2. Menurut Jumhur Ulama’, istidlalnya As-Subki tidak dapat digunakan, sebab murni penyimpulan aqliyyah sehingga tidak dapat digunakan untuk membandingi dalil nash. Selain itu, pada zaman Khulafaur Rosyidin untuk bisa mecapai seluruh daerah Islam membutuhkan waktu tiga bulan atau lebih, berarti kabar akan sampai setelah bulan Ramadlan. Karena itu, mereka tidak ditaklif  (dibebani) untuk menyampaikan bahwa sudah ada rukyah, mengingat tujuan pembebanan tidak akan terealisasi. Dengan demikian, tidak mengkabarkan keseluruh penjuru bukan berarti menunjukkan bahwa mathla’ dianggap, akan tetapi pada zaman itu “hal tersebut” merupakan suatu yang muhal (artinya berita tidak akan dapat sampai keseluruh daerah Islam dalam waktu semalam ).
  3. Kelompok pertama mensyaratkan “sifat jauh” dalam mempertimbangkan mathla’, sebab disitulah perbedaan mathla’ akan ditemukan. Dan mereka berpendapat jauh itu adalah jarak antara kota Hijaz dan Andalus. Dari sini menunjukkan bahwa mengambil hujjah dari hadits Kuraib tidak benar, karena syarat jauh tidak diketemukan pada hadits tersebut, melihat jarak antara Syiria dan Madinah adalah dekat yang tidak menjadikan adanya perbedaan mathla’.[51]
  4. Menanggapi dalil aqli bahwa sifat jauh menyebabkan perbedaan  mathla’, dan perbedaan ini menyebabkan perbedaan mulainya bulan Ramadlan. Kelompok kedua mengatakan, pengambilan  dalil (perkataan) seperti itu tidak benar, karena mathla’ merupakan obyek perdebatan, dimana obyek debat tidak dapat digunakan sebagai dalil.[52]
 VI.   KEPUTUSAN PEMERINTAH
            Imam (kepala negara) punya tugas mengatur umat menuju keserasian dan menghindari atau menghilangkan perpecahan, untuk itu Islam memberikan kekuasaan mutlak, bahkan memberi hak menghukum rakyat yang tidak patuh.
Keputusan yang diambil punya konsekuensi mengharuskan semua lapisan masyrakat untuk mematuhi tanpa memilah-milah antara yang sealiran (Madzhab) dengan imam, tetapi yang terpenting keputusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Artinya standar yang digunakan untuk menilai dan menimbang keputusan tersebut bukan hanya madzhab yang kita ikuti, sehingga meskipun menurut madzhab yang kita ikuti kebijakan tersebut adalah salah, akan tetapi dilihat dari madzhab lain benar maka kita wajib mematuhi.
Oleh karena itu ketika pemerintah menentukan bahwa malam ini tanggal satu Ramadlan atau Syawal, maka seluruh rakyat Indonesia harus mematuhinya, karena keputusan pemerintah menguatkan salah satu pendapat dan atau menghapus perbedaan ulama [53] dan kepatuhan dalam hal ini dikategorikan taat dalam kebaikan.
Untuk itu, tidak dibenarkan adanya suatu lembaga menentukan (mengumumkan) awal Ramadlan atau Syawal yang berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Begitu juga menetapkan sebelum ada ketetapan dari pemerintah. Bahkan pemerintah harus mencegah hal tersebut untuk menghindari mafsadah yang ditimbulkan.
Namun kiranya perlu kami lampirkan juga keterangan sebagaimana berikut :
- Ketetapan masuknya awal bulan Ramadlan secara umum (berlaku bagi seluruh masyarakat) hanya dapat ditetapkan dengan dua cara, pertama dengan menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari. Kedua ditetapkan (itsbat) oleh hakim dengan tendensi rukyahnya (minimal) satu orang yang adil, diluar itu tidak ada hal lain yang dapat digunakan tendensi masuknya bulan ramadlan kecuali berlaku secara khusus bagi orang-orang tertentu, seperti orang yang melihat hilal (dengan matanya sendiri) atau orang yang mengetahui masuknya bulan dengan hitungannya (hisab) sendiri, maka dengan sendirinya mereka dan juga orang-orang yang mempercayai mereka wajib berpuasa tanpa menunggu ketetapan dari imam (pemerintah). Hal ini juga berlaku bagi orang yang meyakini masuknya bulan karena melihat tanda-tanda yang biasa digunakan masyarakat yang semathla’ dengannya untuk menunjukkan masuknya bulan, semisal adanya tabuh-tabuhan bedug, kentongan dll.
Dari sinilah al Syaikh Salim Ibn Sa’id Bakir[54] menyatakan bahwa kabar tentang ketetapan masuk bulan ramadlan dari media elektronik seperti radio atau televisi tidak dapat dijadikan ketetapan yang berlaku umum. Ia hanya bisa dijadikan pegangan bagi mereka yang percaya pada kabar media elektronik tersebut, artinya ketetapan masuk bulan dari media elektronik berlaku khusus bagi yang mempercayai saja, ini pun kalau memang semathla’. praktek semacam ini disamakan dengan orang yang mempercayai tabuh-tabuhan bedug dan kentongan (tanda masuk awal bulan).

Adapun berita awal bulan ramadlan yang disiarkan dari ibu kota negara (Jakarta) apakah bisa berlaku sampai ke pelosok-pelosok negeri?
Untuk menjawab pertanyaan ini, dalam kitab Bulghot al Thullab terdapat fatwa yang dinukil dari fatwanya Shohibul Bughyah,[55] yaitu fatwa dari beliau al Allamah Ibn Yahya:

“Ketika sudah ditetapkan akan kemunculan hilal pada suatu negara, maka hukumnya akan menyeluruh pada seluruh daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan penguasa daerah terlihatnya bulan, walaupun daerah-daerahnya saling berjauhan asalkan masih dalam satu mathla’”
 dan al Allamah al Asykhor
“Ketika keputusan penguasa suatu negara tentang penetapan awal bulan ramadlan tidak berdasarkan pada dalil-dalil Syari’at, akan tetapi hanya asal-asalan dan tanpa prosedur yang jelas, maka hari itu disebut yaum al Syak (hari yang masih diragukan)”

Maka secara eksplisit dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban mengikuti keputusan pemerintah tentang penetapan awal bulan ramadlan harus memenuhi empat kriteria :
  1. Daerah tersebut harus termasuk dalam wilayah kekuasaan al Hakim daerah terlihatnya bulan. Al Hakim yang dimaksud disini adalah al Hakim Syar’iyyah . yaitu penguasa yang diangkat oleh kaum muslimin atau seluruh kaum muslimin yang mempunyai kekuatan yang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan penguasa muslim yang lain. Sehingga dapat kita katakan bahwa penguasa Indonesia adalah termasuk penguasa al Syar’iyyah, sehingga seluruh wilayah Indonesia adalah dalam kekuasaan seorang al Hakim saja.
  2. Kedua tempat tersebut harus dalam satu Mathla’ menurut pendapat al Ashoh seperti yang dipilih imam Nawawi. Kemudian  beliau Syeikh Abdulloh di Umar ba Makhromah memberikan perincian yaitu: ketika waktu ghurub dalam dua daerah terpaut 8 Derajat atau kurang, maka kedua tempat tersebut dikatakan satu Mathla’. Dan ketika keterpautan diantara keduanya lebih dari 8 derajat, maka dikatakan berbeda Mathla’. Dan 1 (satu) derajat adalah 4 menit
  3. Sandaran pemerintah dalam menetapkan awal bulan adalah dengan dasar-dasar Syar’iyyah. semisal keadaan orang yang melihat tersebut harus ‘Adlusy Syahadah dan dapat mengingat kemiringan hilal
  4. Tidak ada keraguan akan keabsahan hukum yang ditetapkan oleh penguasa tersebut.
Kiranya dalam penguraian tentang penetapan awal bulan, kami hanya dapat menghantarkan sampai disini saja dengan harapan semoga tulisan ini dapat mengurangi keresahan masyarakat yang hampir selalu muncul saat penetapan awal bulan Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah. Wal ‘Afwu, Wallahu A’lam.





 Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Teras Pesantren Edisi 5 (Rojab-Syawal 1424 H)
Editor   : A. Yakhsyallah
[1] Untuk lebih jelasnya , baca. Susiknan Ashari Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, cet..1 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002)
[2] Ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.
[3] Ufuk hakiki adalah lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau.
[4] Ufuk hissi adalah lingkaran pada bola yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat pengamat dan tegak lurus pada garis vertikal dari pengamat tersebut.
[5] Lihat al Syarwani, juz I, hal. 379
[6] Al Bahuti, Kasyaf al Qina’, juz II, hal. 349
[7] Artinya rukyah sebagian masyarakat sudah dapat menggugurkan kewajiban dan mewakili pada yang lain. Lihat Abdul Rohman al Jaziri, al Fiqhu ala al Madzahib al Arbaah, juz I, hal 551
[8] Al Nawawi, al Majmuk, juz 6, hal 276S
[9] Lihat. Hasyiah  al Qulyubi, juz II, hal. 50
[10] Ibnu Hajar al Asqolani, “ fathu al Bari “, juz IV, hal.123 
[11] Juz, 6, hal. 442
[12] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, juz I, hal. 29
[13] Riwayat lain mengatakan bahwa menurut Imam Malik kesaksian dua orang tidak diterima kecuali pada cuaca mendung.
[14] Ada Riwayat lain yang mengatakan cukup dua orang.
[15] Op.Cit. Hal. 210
[16] Ibnul Abidin, “ Roddul Mukhtar ala al Dur al Mukhtar “, juz 1, hal. 289
[17] Ibid, juz II, hal. 92
[18] Ibnu Hajar al Asqolani,  fathu al Bari , juz IV, hal. 119 
[19] Muhammad Burhanuddin, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, hal. 85
[20] Imam Bukhori, Shohih al Bukhori, juz I, hal. 256. Dan Imam Muslim, Shohih al Muslim, juz I, hal. 347 
[21] Imam Bukhori, Shohih al Bukhori, juz I, hal. 256 - Imam Muslim, Shohih al Muslim, juz I, hal. 337
Arti hisab pada teks diatas adalah hisab al nujum (perbintangan) dan yang berlandaskan perjalanan benda langit. Ibnu Hajar al Asqolani, fathu al Bari, hal. 119
Munajjim adalah orang yang mengetahui awal bulan berdasarkan munculnya bintang.
Hasib adalah orang yang dalam menentukan awal bulan berpegangan dengan peredaran bulan (mengelilingi bumi ). Sulaiman jamal, Hasyiah ala syarhi Manhaj al Tholab, juz II, hal.306 
[22] Bahkan ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits “Inna Ummatun Ummiyyah” merupakan kabar yang mengandung larangan, karena menceritakan bahwa umat yang ikut pada Nabi SAW adalah yang tidak membuat tulisan dan menggunakan kaedah hisab dalam menentukan hilal, sehingga yang mengerjakan hal tersebut bukanlah umat Nabi SAW dalam hal ini, bahkan telah mengambil jalan yang bukan jalannya umat Islam, dan ini dilarang oleh agama.
Lihat, Fatawa ibnu Taimiyah, juz XXV, mulai hal. 126 
[23] Artinya jadwal hilal yang pembuatanya sebelum bulan tersebut dimulai. Dan jika jadwal tersebut dibutuhkan, kita dapat membuat hitungan ketika sudah awal bulan (setelah ada rukyah atau penyempurnaan dari bulan sebelumnya) dan hanya sebatas satu bulan - dua puluh sembilan hari -, sehingga dapat dipastikan kebenarannya. 
[24] Menurut al Subki hisab adalah qoth’i (pasti) dan kesaksian rukyah adalah dhonni (persangkaan ), dimana dhonni tidak dapat menentang / mengalahkan qoth’i. Abu Hanifah Bakar al Syatho, I'anatut Tholibin, juz II, hal. 216  
[25] Imam al Rouyani mengutip dari ibnu Suraij bahwa ia tidak mengatakan wajib namun hanya boleh.  Ibid, hal. 122
[26] Mathrof hidup dalam qurun tabi’in. Dan abu ‘Amr ibnu ‘Abdil Barri meragukan jika perkataan tersebut disandarkan atas Mathrof.   
[27] Hadits yang digunakan tendensi Ibnu Suraij adalah mujmal (global) sedangkan yang di kemukakan jumhur adalah mufassir. Menurut ulama ushul, antara mujmal dan mufassir tidak bertentangan, akan tetapi makna hadits mujmal harus di fahami dengan hadits mufassir. Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, juz I, hal. 208     
[28] Sayid Abbas, Ibanatul Ahkam, juz II, hal 372
[29] Ibnu Hajar al Asqolani, “ fathu al Bari “, juz IV, hal.127 
 [30] Al  Syatibi, Muwafaqot.
[31] Muhammad Burhanuddin, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, hal. 88
[32] Abdur Rohman ibnu Muhammad, Bugyatul Mustarsyidin, hal.108
[33] Fathu al Qodir, juz II, hal 143
[34] Manazil adalah jarak yang ditempuh bulan pada saat beredar selama satu hari satu malam. Ibid, juz II, hal. 425
[35] Muhammad Burhanuddin, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh,  hal 85
[36] Ibid, hal 86
[37] Lihat. Roddul Muhtar ala Durril Mukhtar, juzII, hal.393
[38] Ibnul Abidin, Majmu’ Rosail, juzI, hal. 350
[39] Ibid, hal. 250
[40] Al Nawawi, al Majmuk Syarhul Muhaddzab, juz 6, hal. 226 - Al Kaasani, al Badaai’, juz II, hal.83 - Al Zaila’i, Tabyinul haqoiq, juz I, hal. 321
[41] Tidak ada perbedaan matla’ pada daerah dibawah jarak 133,056 km. Wahbah al Zuhaili, Al Fiqhu al Islami juz III, hal. 1659
[42] Al Nawawi, al Majmuk Syarhul Muhaddzab, juz 6, hal. 227
[43] Hadits Marfu’ adalah perkataan, pekerjaan, atau ketetapan yang disandarkan pada Nabi SAW. Muhammad ibnu Alawi, Manhal al Lathif , hal. 31
[44] Wahbah al Zuhaili, Al Fiqhu al Islami juz III, hal. 1661
[45] Al Buthi, al fiqhu al Muqoron, hal. 22
[46] Dalil aqli dan penganalogkan di atas selaras perkataan ibnu Zaila’i bahwa waktu dimana bulan meninggalkan matahari (baca : hilal jadid / new moon) adalah berbeda - beda, sesuai letak setiap daerah. Lihat, Tabyinil Haqoiq, juz I, hal 321 
[47] Ibnu Abidin, Roddul Muhtar ala Durril Mukhtar, juz II, hal. 293
[48] Lihat ibnu Qodamah, al Mugni, juz II, hal. 7 - 8
[49] Al Syaukani, Nailul Author, juz IV, hal. 217
[50] Muhammad Baqir al Shodri, al Fatawa al Wadhihah, juz I, hal 508  
[51] Dr. Muhammad Fathii, Buhus Muqoronah, juz II, hal. 401
[52] menjadiakn obyek debat sebagai dalil, disebut mushodaroh.
Dan istidlal dengan meode semacam ini dianggap serampangan, tidak benar.
Seperti menetapkan bahwa hadits dapat dibuat tendensi (hujjah) dengan menggunakan dalil hadits itu sendiri.
[53] Dr. Yusuf Qordowi, Fiqhu al Shiyam, hal. 32
[54] Fath al Ilah al Mannan hal 76 maktabah ‘Alamul Ma’rifah Jeddah cetakan I tahun 1988 M
[55] Bulghoh al Thullab hal 221

0 komentar:

Posting Komentar